Sabtu, 13 Desember 2014

Pendidikan dalam Perspektif Aswaja



Pendidikan dalam Perspektif Aswaja

Sejarah menunjukkan bahwa akidah mampu menggerakkan umat manusia menuju sebuah capaian peradaban. Akidah sebagaimana dinyatakan Hasan Hanafi dapat menjadi ide dasar lahirnya etos dan perilaku manusia. Menurutnya, tauhid menjadi kekuatan dalam kehidupan di bumi ini dan ia mempunyai fungsi praktis untuk melahirkan prilaku dan keyakinan yang kuat mentrasformasikan kehidupan sehari-hari dan sistem sosialnya.
Secara Sosiologis, Aqidah yang dipersonifikasikan dalam ideal-ideal agama merupakan faktor diterminan bagi dinamika sosial. Dalam masyarakat relegius, prilaku manusia akan didasarkan pada pertimbangan agama. Begitu pula struktur politik, ekonomi dan kebudayaan ditentukan oleh prilaku mereka dalam mencapai cita-cita ideal agama. Penelitian Max Weber yang dituangkan dalam karya agungnya; “The Protestan Ethic And Spirit Of Capitalism” menunjukkan adanya konsistensi logis dan pengaruh motivisional yang bersifat mendukung secara timbal balik antara agama (etika Protestan) dan movifasi-motivasi ekonomi (Hasan Hanafi, 2001: 82).
Penting di sini, menurut saya, mengetengahkan geneologi filosofis pendidikan Islam, karena secara konseptual, apapun paradigma dan faham pendidikan itu tetap saja berpijak dan berpihak kepada suatu aliran filsafat-nya. Dalam konteks ini sangat perlu untuk diketengahkan argumen ontologis dan epistemologis pendidikan Islam, mengingat kemungkinan terjadinya deviasi pemikiran Barat tergadap pemikiran Islam, khususnya pemikiran pendidikan.
Dalam bidang kajian pendidikan, objek kajiannya adalah manusia sebagai makhluk yang unik dan mempunyai potensi lahiriyah dan batiniyah (fitrah). Memang agak sulit untuk ditelusuri bila asumsi yang dipakai untuk manusia hanya sebatas kuasa material dalam pendidikan dengan tidak menelusuri aspek immaterial, apalagi sebatas memandang makhluk bebas dan sosial. Dan, kalau disimpulkan sebagai mahkluk immaterial semata jelas manusia bukan makhluk rohani. Oleh karena itu, dalam tulisan ini dicoba untuk mengklarifikasi perbedaan itu dari sudut pandang metodologi keilmuan Islam dan metodologi keilmuan Barat (Mulyadhi Kartanegara, 2003: 30-31).
Sebenarnya dapat disederhanakan dua sistem epistimologi yang secara fundamental berbeda, yaitu epistimologi Barat modern sekuler dan epistimilogi Aristotelian, termasuk ke dalamnya epistimologi Islam. Pangkal perbedaan ini adalah timbulnya cara pandang radikal dalam memandang status ontologis objek-objek ilmu di antara keduanya. Setelah melalui proses yang panjang (terutama setelah pasca-renainsans), epistimologi Barat akhirnya cenderung menolak status ontologis objek-objek metafisika, dan lebih memusatkan perhatiannya pada objek-objek fisika, atau apa yang disebut oleh August Comte dengan “positivistik”. Sementara itu, epistimologi Islam masih mempertahankan status ontologis tidak hanya objek-objek fisik, tetapi juga objek-objek matematika dan metafisika. Perbedaan cara pandang dan keyakinan terhadap status ontologis ini telah menimbulkan perbedaan yang cukup signifikan antara kedua sistem epistimologi tersebut dalam masalah-masalah yang menyangkut soal klasifikasi ilmu dan metode-metode ilmiah.
Jejak ontologis pendidikan Islam sebenarnya dapat ditelusuri pada filsafat emanasi (al-faidl) yang rumusan awalnya dapat kita jumpai pada filsuf-filsuf awal Islam semenjak Al-Kindi (185-152 H/801-865 M), Al-Farabi (259-339 H/850-950 M), dan baru menemukan bentuknya yang ideal di tangan filsuf Ibnu Sina (370-428 H/989-1036 M) (Yunus Musa, 2003: 49-54).
Pemikiran filsuf-filsuf muslim awal memang harus diakui merupakan upaya adaptasi dari Teori Hirarcy of being-nya Plotinos yang secara derivatif merupakan penyesuaian filsafat Plato (427-347 SM). Inti filsafat Plotinus adalah tentang Ide tertinggi atau kebaikan tertinggi. Dan secara tegas ide tertinggi itu adalah Tuhan Yang Esa. Seperti Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengikuti mazhab filsafat emanasi, dan secara kreatif merumuskan konsepsi emanasi ke dalam filsafat jiwa bahwa dari Akal Pertama muncul dua sifat; Wajibul Wujud dan Ja’izul Wujud. Wajibul Wujud menurut Ibnu Sina merupakan pancaran yang eksistensinya wajib; dia ada dan tidak boleh tidak ada. Itulah yang kita kenal kemudian dengan jiwa atau ruh.
Sedangkan Ja’izul Wujud atau Mumkinul Wujud adalah suatu yang eksistensinya tidak mempunyai alasan esensial atau wajib. Ada atau tidak adanya hanya merupakan kemungkinan. Itulah yang kita kenal dengan dunia fenomena, segala sesuatu selain Tuhan, jagad raya yang tergantung adanya dan kelanjutan adanya pada Tuhan (Iqbal Abdurrauf, 1985: 62-64).
Diakui atau tidak, pemikiran filsuf muslim awal telah menjadi landasan teologis dan mistisisme Islam selama berabad-abad lamanya. Bahkan menjadi satu-satunya landasan pemikiran moral Islam yang bertahan dan terus kita pertahankan sampai saat ini. Tak terkecuali seorang Al-Ghazali, yang dalam Kitab Al-Munqiz minaz Zalal, mengkritik habis-habisan filsuf-filsuf Islam awal sebagai sesat justru dalam beberapa karyanya tetap menggunakan filsafat jiwa Ibnu Sina sebagai landasan membangun argumentasi moral.
Pertanyaannya kemudian, apa relevansi teori emansi dengan konsep pendidikan Islam? Emanasi adalah pengakuan terhadap kekuatan supranatural, bahwa kebahagiaan sejati hanya akan dicapai melalui serangkaian aktivitas ruhani yang melahirkan kebaikan moral. Seseorang disebut berakhlak terpuji jika perbuatannya berdimensi ruhaniyah dan berorientasi wajibul wujud. Sebaliknya akhlak seseorang akan tercela apabila perbuatannya lebih berdimensi duniawi, jasad, dan kebendaan, dan berorientasi ja’izul wujud. Sebagaimana dinyatakan oleh Al-Ghazali dalam Ihya’u Ulumud Din (Juz II, 253).
فنقول: الخلق والخلق عبارتان مستعملتان معاً، يقال: فلان حسن الخلق والخلق – أي حسن الباطن والظاهر – فيراد بالخلق الصورة الظاهرة، ويراد بالخلق الصورة الباطنة. وذلك لأن الإنسان مركب من جسد مدرك بالبصر ومن روح ونفس مدرك بالبصيرة. ولكل واحد منهما هيئة وصورة إما قبيحة وإما جميلة. فالنفس المدركة بالبصيرة أعظم قدراً من الجسد المدرك بالبصر. ولذلك عظم الله أمره بإضافته إليه إذ قال تعالى ” إني خالق بشراً من طين فإذا سويته ونفخت فيه من روحي فقعوا له ساجدين
Kata khuluqun dan kholqun merupakan dua term yang sama-sama digunakan. Misalnya dikatakan “seseorang yang baik akhlaknya (khuluq) dan bagus rupa fisiknya (kholq). Yang dimaksud bagus rupa fisiknya adalah bentuk lahiriyahnya, sementara kebaikan akhlak berdimensi batiniyah. Hal itu karena manusia merupakan struktur tak terpisahkan antara jasad yang bersifat inderawi serta ruh dan jiwa yang bersifat spiritual. Masing-masing deminsi lahir dan batin memiliki potensi baik dan buruk. Jiwa yang bersifat spiritual memiliki kualitas yang jauh lebih agung dari jasad yang bersifat inderawi. Oleh karena itu mengapa Allah mengagungkan dimensi ini dan mengaitkannya pada Zatnya sendiri dengan berfirman : Aku menciptakan manusia dari tanah, ketika telah selesai Aku tiupkan Ruh Ku sendiri. Maka bersujudlah wahai sekalian malaikat.
Jadi dalam pendidikan Islam, khususnya dalam konteks Aswaja di atas, pendidikan bukanlah metode belajar Unsich, tetapi merupakan cara memperoleh ilmu sekaligus keutamaannya. Berbicara keutamaan berarti berbicara tentang adab khusus, etika spesifik, atau akhlak tertentu. Adab khusus itu adalah adabus suluk, yaitu di samping belajar dimaknai untuk mencapai kebenaran dan kemanfaatan melalui ilmu pengetahuan, juga dimaknai sebagai penyucian hati, pembersihan jiwa, penjagaan waktu, dan menjauhi dunia, untuk mencapai tujuan akhir, yaitu Hadirat Allah Ta’ala. Metode pendidikan yang secara praktis diterapkan dan dipertahankan di Pesantren yang kita kenal dengan Ta’limul Muta’allim.
Dalam istilah pesantren seorang santri disebut dengan murid, yaitu orang yang mempunyai keinginan (iradah). Seorang santri sekaligus asalah seorang salik (pengelana) yang menuju satu tujuan, yaitu Allah. Dalam perjalanannya tersebut, sang murid memutuskan segala bentuk hubungan dengan prilaku dan nilai-nilai duniawi serta mencurahkan tenaga pada pengokohan aspek-aspek lain, yaitu syeikh atau guru pembimbing (syeikh al- mursyid), sesama murid, dan Allah.
Sampai pada Allah merupakan tujuan pertama dan terakhir yang tidak akan tercapai tanpa adanya seorang mursyid (pembimbing) dan teman yang menemani. Untuk itu, diperlukan adanya akhlak (adab) khusus pada murid, antara sesama penuntut ilmu, dan, di samping itu, akhlak kepada Allah.
Jika ingin menyimpulkan relasi antara syeikh dan murid, maka sebenarnya relasi itu lebih tepat disebut dengan relasi peleburan (fana’), peleburan seorang murid ke dalam syeikh. Seperti dikatakan Abu Hafash Syihabuddin Sahrawardi (w. 632 H), seorang sufi dekade akhir, bahwa ketika seorang murid yang ikhlas berada di bawah kekuasaan syeikh, menemaninya, dan berprilaku seperti prilaku syeikh-nya, maka dari batin sang syeikh mengalir keadaan (hal) ke dalam batin sang murid laksana pelita yang diambil dari pelita.
Apa yang dikatakan syeikh akan mengisi batin murid, dan kemuliaan syeikh menjadi tempat penampungan suasana psikologis (hal) yang selanjutnya mengalir dari syeikh pada murid melalui persahabatan dan kepatuhan mendengarkan kata-kata syeikh.
Kondisi ini akan dicapai apabila murid mengikatkan diri pada syeikh dan menanggalkan kehendak pribadinya dan lebur ke dalam syeikh dengan meninggalkan kebebasannya sendiri. Murid menyatu dengan Tuhan sebagai akibat percampuran dua sahabat yang meninggalkan kehendak pribadinya (Kamil Musthafa As-Syaibi, 1969: 432-433).
Fenomena paraktek pendidikan semacam ini telah berlalu selama berabad-abad sebagai karakter pokok pendidikan Aswaja, utamanya yang diperaktekkan di pesantren-pesantren. Dan Ta’limul Muta’allim adalah literatur dari sekian literatur yang turut membentuk karakter dan ciri khas tersebut. Tentu tidak bijak jika kitab Ta’limul Muta’allim dikesampingkan begitu saja dan diangga sebagai kitab yang telah habis masa berlakunya.
















DAFTAR PUSTAKA
http://nusumenep.or.id/perspektif-pendidikan-aswaja-usaha-penjernihan-konseptual-bagian-1/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar