Pendidikan dalam Perspektif Aswaja
Sejarah menunjukkan bahwa akidah
mampu menggerakkan umat manusia menuju sebuah capaian peradaban. Akidah
sebagaimana dinyatakan Hasan Hanafi dapat menjadi ide dasar lahirnya etos dan
perilaku manusia. Menurutnya, tauhid menjadi kekuatan dalam kehidupan di bumi
ini dan ia mempunyai fungsi praktis untuk melahirkan prilaku dan keyakinan yang
kuat mentrasformasikan kehidupan sehari-hari dan sistem sosialnya.
Secara Sosiologis, Aqidah yang
dipersonifikasikan dalam ideal-ideal agama merupakan faktor diterminan bagi
dinamika sosial. Dalam masyarakat relegius, prilaku manusia akan didasarkan
pada pertimbangan agama. Begitu pula struktur politik, ekonomi dan kebudayaan
ditentukan oleh prilaku mereka dalam mencapai cita-cita ideal agama. Penelitian
Max Weber yang dituangkan dalam karya agungnya; “The Protestan Ethic And Spirit
Of Capitalism” menunjukkan adanya konsistensi logis dan pengaruh motivisional
yang bersifat mendukung secara timbal balik antara agama (etika Protestan) dan
movifasi-motivasi ekonomi (Hasan Hanafi, 2001: 82).
Penting di sini, menurut saya,
mengetengahkan geneologi filosofis pendidikan Islam, karena secara konseptual,
apapun paradigma dan faham pendidikan itu tetap saja berpijak dan berpihak kepada
suatu aliran filsafat-nya. Dalam konteks ini sangat perlu untuk diketengahkan
argumen ontologis dan epistemologis pendidikan Islam, mengingat kemungkinan
terjadinya deviasi pemikiran Barat tergadap pemikiran Islam, khususnya
pemikiran pendidikan.
Dalam bidang kajian pendidikan,
objek kajiannya adalah manusia sebagai makhluk yang unik dan mempunyai potensi
lahiriyah dan batiniyah (fitrah). Memang agak sulit untuk ditelusuri bila
asumsi yang dipakai untuk manusia hanya sebatas kuasa material dalam pendidikan
dengan tidak menelusuri aspek immaterial, apalagi sebatas memandang makhluk
bebas dan sosial. Dan, kalau disimpulkan sebagai mahkluk immaterial semata
jelas manusia bukan makhluk rohani. Oleh karena itu, dalam tulisan ini dicoba
untuk mengklarifikasi perbedaan itu dari sudut pandang metodologi keilmuan
Islam dan metodologi keilmuan Barat (Mulyadhi Kartanegara, 2003: 30-31).
Sebenarnya dapat disederhanakan dua
sistem epistimologi yang secara fundamental berbeda, yaitu epistimologi Barat
modern sekuler dan epistimilogi Aristotelian, termasuk ke dalamnya epistimologi
Islam. Pangkal perbedaan ini adalah timbulnya cara pandang radikal dalam
memandang status ontologis objek-objek ilmu di antara keduanya. Setelah melalui
proses yang panjang (terutama setelah pasca-renainsans), epistimologi Barat
akhirnya cenderung menolak status ontologis objek-objek metafisika, dan lebih
memusatkan perhatiannya pada objek-objek fisika, atau apa yang disebut oleh
August Comte dengan “positivistik”. Sementara itu, epistimologi Islam masih
mempertahankan status ontologis tidak hanya objek-objek fisik, tetapi juga
objek-objek matematika dan metafisika. Perbedaan cara pandang dan keyakinan
terhadap status ontologis ini telah menimbulkan perbedaan yang cukup signifikan
antara kedua sistem epistimologi tersebut dalam masalah-masalah yang menyangkut
soal klasifikasi ilmu dan metode-metode ilmiah.
Jejak ontologis pendidikan Islam
sebenarnya dapat ditelusuri pada filsafat emanasi (al-faidl) yang rumusan
awalnya dapat kita jumpai pada filsuf-filsuf awal Islam semenjak Al-Kindi
(185-152 H/801-865 M), Al-Farabi (259-339 H/850-950 M), dan baru menemukan
bentuknya yang ideal di tangan filsuf Ibnu Sina (370-428 H/989-1036 M) (Yunus
Musa, 2003: 49-54).
Pemikiran filsuf-filsuf muslim awal memang harus diakui merupakan upaya adaptasi dari Teori Hirarcy of being-nya Plotinos yang secara derivatif merupakan penyesuaian filsafat Plato (427-347 SM). Inti filsafat Plotinus adalah tentang Ide tertinggi atau kebaikan tertinggi. Dan secara tegas ide tertinggi itu adalah Tuhan Yang Esa. Seperti Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengikuti mazhab filsafat emanasi, dan secara kreatif merumuskan konsepsi emanasi ke dalam filsafat jiwa bahwa dari Akal Pertama muncul dua sifat; Wajibul Wujud dan Ja’izul Wujud. Wajibul Wujud menurut Ibnu Sina merupakan pancaran yang eksistensinya wajib; dia ada dan tidak boleh tidak ada. Itulah yang kita kenal kemudian dengan jiwa atau ruh.
Pemikiran filsuf-filsuf muslim awal memang harus diakui merupakan upaya adaptasi dari Teori Hirarcy of being-nya Plotinos yang secara derivatif merupakan penyesuaian filsafat Plato (427-347 SM). Inti filsafat Plotinus adalah tentang Ide tertinggi atau kebaikan tertinggi. Dan secara tegas ide tertinggi itu adalah Tuhan Yang Esa. Seperti Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengikuti mazhab filsafat emanasi, dan secara kreatif merumuskan konsepsi emanasi ke dalam filsafat jiwa bahwa dari Akal Pertama muncul dua sifat; Wajibul Wujud dan Ja’izul Wujud. Wajibul Wujud menurut Ibnu Sina merupakan pancaran yang eksistensinya wajib; dia ada dan tidak boleh tidak ada. Itulah yang kita kenal kemudian dengan jiwa atau ruh.
Sedangkan Ja’izul Wujud atau
Mumkinul Wujud adalah suatu yang eksistensinya tidak mempunyai alasan esensial
atau wajib. Ada atau tidak adanya hanya merupakan kemungkinan. Itulah yang kita
kenal dengan dunia fenomena, segala sesuatu selain Tuhan, jagad raya yang
tergantung adanya dan kelanjutan adanya pada Tuhan (Iqbal Abdurrauf, 1985:
62-64).
Diakui atau tidak, pemikiran filsuf muslim awal telah menjadi landasan teologis dan mistisisme Islam selama berabad-abad lamanya. Bahkan menjadi satu-satunya landasan pemikiran moral Islam yang bertahan dan terus kita pertahankan sampai saat ini. Tak terkecuali seorang Al-Ghazali, yang dalam Kitab Al-Munqiz minaz Zalal, mengkritik habis-habisan filsuf-filsuf Islam awal sebagai sesat justru dalam beberapa karyanya tetap menggunakan filsafat jiwa Ibnu Sina sebagai landasan membangun argumentasi moral.
Diakui atau tidak, pemikiran filsuf muslim awal telah menjadi landasan teologis dan mistisisme Islam selama berabad-abad lamanya. Bahkan menjadi satu-satunya landasan pemikiran moral Islam yang bertahan dan terus kita pertahankan sampai saat ini. Tak terkecuali seorang Al-Ghazali, yang dalam Kitab Al-Munqiz minaz Zalal, mengkritik habis-habisan filsuf-filsuf Islam awal sebagai sesat justru dalam beberapa karyanya tetap menggunakan filsafat jiwa Ibnu Sina sebagai landasan membangun argumentasi moral.
Pertanyaannya kemudian, apa
relevansi teori emansi dengan konsep pendidikan Islam? Emanasi adalah pengakuan
terhadap kekuatan supranatural, bahwa kebahagiaan sejati hanya akan dicapai
melalui serangkaian aktivitas ruhani yang melahirkan kebaikan moral. Seseorang
disebut berakhlak terpuji jika perbuatannya berdimensi ruhaniyah dan
berorientasi wajibul wujud. Sebaliknya akhlak seseorang akan tercela apabila
perbuatannya lebih berdimensi duniawi, jasad, dan kebendaan, dan berorientasi
ja’izul wujud. Sebagaimana dinyatakan oleh Al-Ghazali dalam Ihya’u Ulumud Din
(Juz II, 253).
فنقول: الخلق والخلق عبارتان مستعملتان معاً، يقال: فلان حسن
الخلق والخلق – أي حسن الباطن والظاهر – فيراد بالخلق الصورة الظاهرة، ويراد
بالخلق الصورة الباطنة. وذلك لأن الإنسان مركب من جسد مدرك بالبصر ومن روح ونفس
مدرك بالبصيرة. ولكل واحد منهما هيئة وصورة إما قبيحة وإما جميلة. فالنفس المدركة
بالبصيرة أعظم قدراً من الجسد المدرك بالبصر. ولذلك عظم الله أمره بإضافته إليه إذ
قال تعالى ” إني خالق بشراً من طين فإذا سويته ونفخت فيه من روحي فقعوا له ساجدين
Kata khuluqun dan kholqun merupakan
dua term yang sama-sama digunakan. Misalnya dikatakan “seseorang yang baik
akhlaknya (khuluq) dan bagus rupa fisiknya (kholq). Yang dimaksud bagus rupa
fisiknya adalah bentuk lahiriyahnya, sementara kebaikan akhlak berdimensi
batiniyah. Hal itu karena manusia merupakan struktur tak terpisahkan antara
jasad yang bersifat inderawi serta ruh dan jiwa yang bersifat spiritual.
Masing-masing deminsi lahir dan batin memiliki potensi baik dan buruk. Jiwa
yang bersifat spiritual memiliki kualitas yang jauh lebih agung dari jasad yang
bersifat inderawi. Oleh karena itu mengapa Allah mengagungkan dimensi ini dan
mengaitkannya pada Zatnya sendiri dengan berfirman : Aku menciptakan manusia
dari tanah, ketika telah selesai Aku tiupkan Ruh Ku sendiri. Maka bersujudlah
wahai sekalian malaikat.
Jadi dalam pendidikan Islam,
khususnya dalam konteks Aswaja di atas, pendidikan bukanlah metode belajar
Unsich, tetapi merupakan cara memperoleh ilmu sekaligus keutamaannya. Berbicara
keutamaan berarti berbicara tentang adab khusus, etika spesifik, atau akhlak
tertentu. Adab khusus itu adalah adabus suluk, yaitu di samping belajar
dimaknai untuk mencapai kebenaran dan kemanfaatan melalui ilmu pengetahuan,
juga dimaknai sebagai penyucian hati, pembersihan jiwa, penjagaan waktu, dan
menjauhi dunia, untuk mencapai tujuan akhir, yaitu Hadirat Allah Ta’ala. Metode
pendidikan yang secara praktis diterapkan dan dipertahankan di Pesantren yang
kita kenal dengan Ta’limul Muta’allim.
Dalam istilah pesantren seorang
santri disebut dengan murid, yaitu orang yang mempunyai keinginan (iradah).
Seorang santri sekaligus asalah seorang salik (pengelana) yang menuju satu
tujuan, yaitu Allah. Dalam perjalanannya tersebut, sang murid memutuskan segala
bentuk hubungan dengan prilaku dan nilai-nilai duniawi serta mencurahkan tenaga
pada pengokohan aspek-aspek lain, yaitu syeikh atau guru pembimbing (syeikh al-
mursyid), sesama murid, dan Allah.
Sampai pada Allah merupakan tujuan
pertama dan terakhir yang tidak akan tercapai tanpa adanya seorang mursyid
(pembimbing) dan teman yang menemani. Untuk itu, diperlukan adanya akhlak
(adab) khusus pada murid, antara sesama penuntut ilmu, dan, di samping itu,
akhlak kepada Allah.
Jika ingin menyimpulkan relasi
antara syeikh dan murid, maka sebenarnya relasi itu lebih tepat disebut dengan
relasi peleburan (fana’), peleburan seorang murid ke dalam syeikh. Seperti
dikatakan Abu Hafash Syihabuddin Sahrawardi (w. 632 H), seorang sufi dekade
akhir, bahwa ketika seorang murid yang ikhlas berada di bawah kekuasaan syeikh,
menemaninya, dan berprilaku seperti prilaku syeikh-nya, maka dari batin sang
syeikh mengalir keadaan (hal) ke dalam batin sang murid laksana pelita yang
diambil dari pelita.
Apa yang dikatakan syeikh akan
mengisi batin murid, dan kemuliaan syeikh menjadi tempat penampungan suasana
psikologis (hal) yang selanjutnya mengalir dari syeikh pada murid melalui
persahabatan dan kepatuhan mendengarkan kata-kata syeikh.
Kondisi ini akan dicapai apabila murid mengikatkan diri pada syeikh dan menanggalkan kehendak pribadinya dan lebur ke dalam syeikh dengan meninggalkan kebebasannya sendiri. Murid menyatu dengan Tuhan sebagai akibat percampuran dua sahabat yang meninggalkan kehendak pribadinya (Kamil Musthafa As-Syaibi, 1969: 432-433).
Kondisi ini akan dicapai apabila murid mengikatkan diri pada syeikh dan menanggalkan kehendak pribadinya dan lebur ke dalam syeikh dengan meninggalkan kebebasannya sendiri. Murid menyatu dengan Tuhan sebagai akibat percampuran dua sahabat yang meninggalkan kehendak pribadinya (Kamil Musthafa As-Syaibi, 1969: 432-433).
Fenomena paraktek pendidikan semacam
ini telah berlalu selama berabad-abad sebagai karakter pokok pendidikan Aswaja,
utamanya yang diperaktekkan di pesantren-pesantren. Dan Ta’limul Muta’allim
adalah literatur dari sekian literatur yang turut membentuk karakter dan ciri
khas tersebut. Tentu tidak bijak jika kitab Ta’limul Muta’allim dikesampingkan
begitu saja dan diangga sebagai kitab yang telah habis masa berlakunya.
DAFTAR PUSTAKA
http://nusumenep.or.id/perspektif-pendidikan-aswaja-usaha-penjernihan-konseptual-bagian-1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar